Puspita Mahidhara Bauddha Sthana
GOOGLE NEWS
BERITAKLUNGKUNG.COM, NUSA PENIDA.
Pada tanggal 10 Desember 2021, Yayasan Puspita Mahidhara bekerjasama dengan ITB STIKOM Bali, mengadakan sebuah acara talkshow bertajuk budaya dengan judul “Niyasa Naga Puspa (Sebuah Persembahan Suci)” yang bertempat di Wantilan Pura Masceti Gunung Sari Peliatan.
Pada kesempatan tersebut, hadir Ir. Ida Bagus Putera (pemerhati budaya bali) sebagai narasumber 1, Tjokorda Bagus Wiranatha (undagi/ tokoh Puri Peliatan) sebagai narasumber 2, dan Marlowe Bandem (tokoh perintis Arsip Bali 1928) selaku perwakilan yayasan STIKOM Bali. Acara tersebut dipandu oleh I. B. Putu Indra Priyatna selaku host/ moderator.
Dijelaskan pada acara tersebut, dalam prosesi upakara pengabenan atau pelebon, selain bade sebagai tempat pengusung jenazah, dilengkapi juga dengan sarana lembu dan naga untuk kategori ngaben yang utama, seperti halnya di Puri Agung.
Sementara untuk pelebon di Griya menggunakan Naga Puspa, yaitu sarana yang hanya dapat digunakan oleh sulinggih/ orang yang disucikan dari kalangan Brahmana pada tingkatan "Abhra". Adapun sarana Naga Puspa adalah representasi kendaraan bagi Pedanda yang dipelebonkan pada upakara tersebut.
Sosok Naga Puspa merupakan aspirasi karya seni rupa yang diciptakan oleh seorang undagi/ arsitek tradisional yang kemudian diberikan energi oleh seorang sulinggih (Pedanda) melalui prosesi Manah Naga.
Dari pemaparan yang disampaikan oleh tokoh pemerhati budaya bali, Bapak Ir. Ida Bagus Putera, diceritakan sosok Naga Banda adalah anugerah dari Dang Hyang Astapaka (Empu Boddha) kepada Dalem Waturenggong. Ketika kemampuan batin beliau diuji oleh Dalem Waturenggong dihadapan petinggi - petinggi kerajaan Gelgel.
Sehari sebelum pertemuan, Ki Selan Wukir diperintahkan untuk membuat lubang yang kemudian dimasukkan angsa dan ditutup dengan daun layaknya semak belukar. Ketika pertemuan dimulai, Dalem Waturenggong menyampaikan belakangan masyarakat terganggu dengan suara yang mengerikan.
Ketika itu, angsa yang berada di dalam lubang bersuara dan suara itu lah yang menghantui perasaan masyarakat sekitar. Dalem Waturenggong kemudian bertanya "Apa gerangan yang bersuara mengerikan tersebut?". Jawab Empu Boddha "Itu adalah suara naga".
Mendengar jawaban Dang Hyang Astapaka tersebut, Dalem Waturenggong dan petinggi kerajaan lainnya sontak tersenyum sinis dan justru mencemooh Dang Hyang Astapaka yang waktu itu masih belia. Maka segera diperintahkan untuk membuka penutup lubang, dan sangat mengejutkan karena yang tiba - tiba muncul adalah seekor naga.
Dan betapa terkejutnya seluruh peserta pertemuan melihat munculnya seekor naga, bukannya seekor angsa seperti yang dimasukkan pada hari sebelumnya. Naga yang muncul kemudian diberikan nama Naga Banda, dimana Banda berarti ikatan. Naga tersebut kemudian dikembalikan ke alam gaib oleh Dang Hyang Astapaka dengan kemampuan batinnya.
Kemudian Dalem Waturenggong diberi pesan, bahwa ketika meninggal nanti sarana pelebonnya harus dilengkapi dengan Naga Banda untuk membantu melepaskan ikatan duniawi menuju Ari Bhuwana (Wisnu Loka).
Ir. Ida Bagus Putera juga memaparkan bahwa Budakeling adalah pusat keturunan dari Dang Hyang Astapaka. Hingga saat ini, tradisi kependetaan masih terjaga dengan baik. Ketika pendeta buddha mampu mencapai status "Abhra" semasa hidupnya, keluarga besar Brahmana Buddha mempersembahkan sarana upacara berupa Naga.
Ketika beliau yang berstatus Abra tersebut dipelebonkan, sebagai persembahan suci atas jasa beliau menjaga tradisi kependetaan dan regenerasi. Naga persembahan ini kemudian diberi nama Naga Puspa, yang bermakna ungkapan rasa bangga serta hati yang berbunga (bunga = puspa).
Menurut penuturan undagi, Tjokorda Bagus Wiranatha, proses pembuatan naga puspa dilakukan kurang lebih selama 25 hari dari mulai pengumpulan bahan, hingga proses akhir sehingga tercipta sosok naga. Bahan utama yang digunakan untuk membuat Naga Puspa yakni jenis kayu cempaka untuk bagian wajah (tapel), kayu meduri putih, kemuning, bentawas untuk gigi/taring, tumbuhan jenggot rsi untuk bagian rambut, dan ulatan sudamala dari bahan bambu untuk bagian badan. Pohon nagasari daun merah dan hijau juga digunakan untuk memberikan pewarnaan alami dari wujud naga puspa.
Naga puspa sendiri memiliki 3 jenis ukuran panjang yakni pitung rahi, siya rahi, dan solas rahi, dimana ukuran tersebut menyesuaikan dengan panjang wajah sang naga dan luas lokasi tempat acara pelebon berlangsung.
Dengan sarana Naga Puspa, roh Pedanda Buddha yang dipelebon diharapkan dapat terbebas dari ikatan keduniawian, sehingga manunggal/ menyatu dengan asal muasal penjelmaan yaitu Buddha-Laya, Nirwana.
Tak ada gading yang tak retak, dan tidaklah sempurna informasi di atas menjelaskan semua tentang hal ini.
Editor: Robby
Reporter: bbn/klk