search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Perlawanan dalam Kepatuhan
Minggu, 29 November 2020, 22:30 WITA Follow
image

beritaklungkung.com

IKUTI BERITAKLUNGKUNG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAKLUNGKUNG.COM, KLUNGKUNG.

“…Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang 
Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang…”

(Chairil Anwar, Aku, Maret 1943)

Posisi mahasiswa kini dalam kondisi dilematis. Peran dan statusnya menghadirkan paradoks tersendiri, idealisme gerak langkahnya terhadang oleh arus besar kekuasan (pendidikan, modal) yang menafikkan semuanya. 

Idealisme sebagai kontrol sosial dibentuk oleh negara agar peran dan posisi mahasiswa tetap pada kerangka kekuasaan. Sedangkan konstruksi gerakan moral menjadi diawang-awang ketika idealisme dan jati diri dari status kemahasiswaan secara hakekat belum dipahami. Lalu mau kemana idealisme mahasiswa (Bali) saat ini?

Arus besar kekuasaan pendidikan yang berkolaborasi dengan kepentingan modal, industri (pariwisata) serta sebagian makna kekuatan militer masuk dalam sendi-sendi paling hakekat dalam pendidikan. Semua ruang-ruang gerakan kritis mahasiswa disumbat dengan prinsip-prinsip tadi. 

Caranya dengan membuat segala macam instrumen—baik dengan surat keputusan, aturan-aturan dan tawaran-tawaran pendidikan---untuk memandulkan pikiran kritis dan menutup ruang gerak mahasiswa. Secara nyata kondisi umum ini terjadi di semua lembaga pendidikan tinggi di Indonesia (Bali).

Tapi problemnya adalah, adakah kesadaran untuk memberikan perspektif alternatif yang kritis itu—meskipun dalam lingkaran kekuasaan? Tanpa sadar lembaga kemahasiswaan formal larut bermain dalam manipulasi kesadaran yang dia ciptakan sendiri. 

Misalkan terperangkap dalam aturan birokratis kekuasaan, atau bergaya kekuasaan gaya baru. Ini adalah sebuah otokritik. Kritik secara internal misalnya, bagaimana kegiatan-kegiatan lembaga kemahasiswaan menjadi hanya rutinitas. 

Asal ada kegiatan tanpa memperhatikan esensi kegiatan dan mau apa setelah ada kegiatan. Cara pandang seperti setidaknya memberi arti bahwa arah dan tujuan gerakan mahasiswa—dalam konteks gerakan kritis—belum tertuntaskan. 

Tapi esensi dari semua itu adalah kesadaran akan perlawanan dan gerakan protes mahasiswa yang dilahirkan dengan kritik terus menerus. Penghargaan atas kritik rasanya harus mendapatkan tempat dalam kasus ini. Dan bagaimana proses pendidikan dipahami adalah kuncinya.

Bagaimana misalnya Soe Hok Gie mengerti tentang perjuangan dan idealisme mahasiswanya. Sejak kecil, mulai dari SMP dan SMU, Hok Gie berani mempertahankan prinsipnya, meskipun harus berdebat dengan gurunya, atau nilainya menjadi hancur. 

Proses pendidikan pada titik ini telah sampai pada proses kesadaran dan refleksi kritis terhadap kondisi dominan yang terjadi dalam lingkungannya.

Proses pendidikan yang kritis, itulah harapan kita terhadap sistem pendidikan di republik ini. Tapi nyatanya, semangat pendidikan konservatif dan feodal yang menolak alternatif kritik dan mendogmakan kebenaran pasti, bergabung paradigama pendidikan liberalis yang apolitis yang mengutamakan harmoni dan sama sekali tidak ada tradisi kritik. 

Lalu apa yang diharapkan dari pendidikan yang seperti ini? Tidak salah kiranya jika generasi yang lahir dari pendidikan ini adalah generasi yang apatis, borjuis, budak dan tentu saja mandul sikap kritisnya terhadap dominan ideologi yang terjadi di lingkungannya.  

Pendidikan Penyadaran

Proses pendidikan sebenarnya adalah praktek pembebasan dan proses penyadaran. Peserta didik dibebaskan untuk memahami kontradiksi sosial , politik, ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut. 

Proses kesadaran kritis adalah situasi dimana telah dicapainya ketidakpuasan sosial terhadap situasi hegemonik (kuasa) yang menindas.
Pendidikan penyadaran seharusnya diarahkan untuk memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berdialog, memilih dan melihat fenomena tanpa kekuasaan. 

Pendidikan memang sangat subyektif dan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan. Tapi pendidikan pembebasan kaum tertindas dimulai dan dijiwai oleh kedermawanan sejati, rasa kemanusiaan untuk menampilkan diri sebagai sebuah pendidikan bagi seluruh umat manusia. Untuk itulah, kaum tertindas yang kalah tidak boleh berbalik menjadi penindas, tapi memulihkan kembali kemanusiaan keduanya.

Situasi inilah sebenarnya titik awal munculnya beribu generasi muda yang tidak punya nilai kemanusiaan. Dehumanisasi muncul ketika semuanya mengingkari nilai kemanusiaan, tapi luruh mengejar pragmatisme dan menjadi budak dari sistem yang membentuk dehumanisasi itu. 

Memang kita harus menyadari, proses pendidikan tidak mungkin bebas nilai atau netral, atau terlepas dari persoalan kondisi dominan politik, sosial, ekonomi seperti impian golongan konservatif dan liberalis. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan dan ideologi dominan yang berkembang saat itu. 

Pendidikan sebagai satu ruang, sangat jelas dimanfaatkan kekuasaan untuk memasukkan nilai-nilai dokrtinasi kuasa. Justru refleksi kesadaran kritis inilah yang membuat kesadaran ditindas lahir. Proses refleksi kritis tentunya lahir dari pergulatan panjang mengasah kesadaran terhadap boroknya kondisi dominan-- khususnya dalam pendidikan—yang membelenggu kebebasan manusia tanpa disadari. 

Proses memanusiakan manusia layaknya hadir ketika kesadaran kritis rakyat dilatih untuk tanggap dengan kondisi sosial, politik, budaya. Tidak apatis, apalagi naif.

Satu kunci dari argumentasi tadi adalah kepekaan untuk membongkar struktur-struktur kekuasaan politik, ekonomi, budaya, hukum. Struktur kekuasaan yang mapan, menindas, tentunya haruslah dilihat sebagai sebuah mahluk yang akan melahirkan benih-benih sama kepada kader-kadernya—yang sangat mungkin menjalar dan tersebar melalui proses pendidikan yang membosankan dan tidak membebaskan.

Sistem Pendidikan yang otoriter dengan segala perangkatnya telah membentuk manusia yang menghamba pada dogmatisme. Seluruh perangkat dan aturan pendidikan dibuat untuk meminimkan apresiasi dan kreativitas manusia untuk berpikir, menelaah dan menganalisis persoalan yang ada. 

Akhirnya mahasiswa terjebak hanya pada persoalan tugas, kuliah dan mengemis pada dosen. Lalu dimana pendidikan dengan praktek pembebasan dan kesadaran kritis itu?

Perlawan dalam Kepatuhan, meminjam istilah Ariel Haryanto, satu intelektual Indonesia, untuk menyebut riak-riak kecil dunia pendidikan kita sekarang (Unud). Tidak ada semacam pembongkaran dasar tentang paradigma pendidikan sebenarnya yang telah dikembangkan, tapi tetap berkutat masalah nilai, KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan masalah teknis lainnya. 

Bagaimana dengan kurikulum, kekuasaan Dinas Pendidikan Nasional, Negara dan pendidikan, dan paradigma dasar industrialisasi pendidikan. Saya hanya memberikan ingatan kepada kawan-kawan, bahwa ketika masuk ke Perguruan Tinggi, kita telah masuk dalam setumpuk aturan yang bisa membuat kita muak dan mau muntah mengikutinya. 

Biaya pendidikan mahal, kurikulum berantakan jauhnya hubungan kuliah dengan realitas sosial di masyarakat dan segala aturan lainnya yang membelenggu kita. Apakah yang bisa diharapkan dari sekolah, Universitas, jika pembodohan, ketertindasan masih terjadi?
   
Industrialisasi Pendidikan

Kurikulum dan segala sistemnya dikemas dengan praktis untuk masa tiga-empat tahun langsung siap kerja. Begitu cepat, mudahnya. Hanya satu catatannya, materi (modal) adalah segala-galanya untuk program ini. 

Kondisi ini tidak terlepas dari kondisi dominan dimana pendidikan pun juga harus tunduk dengan kepentingan modal besar –lebih jauhnya kapitalisme global, dimana terjadi penjajahan (imperialisme) ekonomi dan segala hal gaya baru. Kawan-kawan mungkin merasakannya.

Baca juga:
Sungai Melangit Lokasi Arung Jeram Terkenal di Bali

Secara tidak disadari, pendidikan telah menjadi semacam industri dan produk yang bisa dijual dengan berbagai kelicikan pengusaha yang berpura-pura menjadi akademisi. 

Layaknya industri, pendidikanpun dikemas dengan logika dagang, output dagang dan bekerjanya faktor industri yang ujung-ujungnya adalah materi. Lalu dimana hakekat pendidikan untuk pembebasan, kesadaran kritis dan humanis?

Semua itu kini hanya menjadi tameng dari paradigma besar mengindustrikan pendidikan. Nilai-nilai pendidikan sudah luntur dimakan hanya kewajiban kuliah, pendidikan mahal dan otoriternya kekuasaan pendidikan. 

Mahasiswa harus tunduk dengan aturan-aturan (yang mudah-mudahan mereka sadari) telah menghina kecerdasan mereka (mahasiswa). Makna pendidikan sudah bergeser hanya sekedar mendengarkan kuliah, cepat tamat, lalu kerjayang baik dan benar. 

Hakekat pendidikan dimana proses pembelajaran—dalam arti seluas-luasnya termakan pragmatisme pendidikan untuk mengejar gelar misalnya. Lalu apa yang diharapkan dari semangat pendidikan seperti ini?

Situasi seperti ini harus disikapi. Paling tidak, kesadaran kritis untuk melawan dalam diri kita telah tumbuh. Dengan begitu kita dapat melakukan proses pembebasan dan mengkritisi segala bentuk doktrinasi dan pembodohan yang diterima dalam perkuliahan atau kesempatan lainnya. Bebaskan dan sadarkan diri terlebih dahulu untuk melawan kekuasaan pendidikan. 


I Ngurah Suryawan, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC). 

Editor: Robby

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritaklungkung.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Klungkung.
Ikuti kami