search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pentas Ritual dan Kontestasi Politik di Bali
Minggu, 8 November 2020, 22:25 WITA Follow
image

beritaklungkung.com

IKUTI BERITAKLUNGKUNG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAKLUNGKUNG.COM, KLUNGKUNG.

"Ritual-ritual keagamaan di Bali dulunya dijaga dengan mantra-mantra kini justru dijaga oleh sepasukan pecalang (barisan pengamanan adat di Bali) dan pemeriksaan metal detector" (IBM Dharma Palguna, 2006)

Ritual ngaben bagi keluarga yang ditinggalkan belum tentu berlangsung lancar. Banyak orang-orang Bali yang terkena musibah kematian harus tertimpa tangga bersitegang untuk mendapatkan setra (kuburan) untuk ngaben. 

Tidak tanggung-tanggung kemarahan warga ditunjukkan dengan menggeletakkan jasad di tengah jalan atau bahkan menghadang warga yang “bermasalah” untuk menguburkan atau meng-ngaben-kan jasad di setra. Lemparan batu dan umpatan pada sesama krama (warga) satu desa tidak sulit dilakukan karena dianggap telah melanggar awig-awig dan tidak memenuhi kewajiban sebagai krama adat. 

Saya sempat berada di tengah-tengah sebuah keluarga di sebuah desa kecil di Bali yang disepekang (dikucilkan) dan mempunyai musibah kematian tapi dihadang penguburannya oleh krama (warga) adat. Setra (kuburan) dipagari dengan batang-batang pohon dan puluhan krama melempari rumah warga yang dikucilkan. 

Setelah dikepung beberapa jam dan aparat kepolisian datang, akhirnya keluarga ini memilih untuk menguburkan jasad salah satu anggota keluarganya di setra desa tetangga. Proses itupun berlangsung selama berhari-hari dan dalam suasana yang menegangkan. 

Wayan Marda, seorang lelaki setengah baya dengan rambut yang memulai uban, saya temui di sebuah desa di pelosok utara Pulau Bali merasa sungguh terpukul dan sakit hati. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan tiga tahun lalu pada suatu hari di pertengahan bulan Agustus 2010. 

Sementara ratusan masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga) dan saudaranya, berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut “menghukum” ayah Wayan Marda karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan kewajiban menjadi krama desa pakraman. Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain” dari suara mayoritas.

Di ujung akhir hayatnya, saat menuju pembakaran mayat ke kuburan, ayah Wayan Marda menerima hukuman dari perbuatannya. Setelah sekian lama kasepekang (dikucilkan, dimusuhi) oleh krama desa, ayah Wayan Marda yang telah tiada dan juga keluarganya harus menerima hukuman. Wayan Marda tertunduk pasrah, “Masak orang yang sudah jadi mayat harus dihukum, diperlakukan seperti ini. Sama sekali tidak ada toleransi, Sungguh tidak manusiawi,” ungkapnya. 

Jika Marda hatinya luluh lantak melihat ayahnya “dihukum” oleh krama satu desanya, cara “menghukum” warga yang dianggap membangkang lainnya adalah dengan jalan kekerasan. Kejadian ini dialami oleh I Nyoman Katur di sebuah desa ujung timur Bali. Akibat ketegangan perebutan tapal batas wilayah dan tanah pelaba pura (halaman pura), ditambah sentimen pribadi akibat persaingan politik menjadi calon anggota legislatif, rumah sederhana Katur menjadi sasaran massa. 

Aksi beringas massa dengan berteriak histeris melempari rumahnya dari setiap sisi. I Nyoman Katur mendengar sendiri teriakan suara orang-orang desa yang dikenalnya untuk menghancurkan rumahnya. “Benyahin, benyahin…!” (Hancurkan, hancurkan…!).  

Ritual dan Keselamatan

Kisah Marda, Katur, dan manusia Bali lainnya mencerminkan bahwa ritual keagamaan yang sejatinya adalah mencari jalan keselamatan (salvation) dalam beberapa praktiknya justru menjadi sumber kegetiran. Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari serangkaian ritual yang dilakukan oleh agama-agama. 

Agama praksis yang terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas pendukung ritus tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu, dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral, organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat (Dhafamony, 1995;  Suhardi, 2009: 12).

Kategori ritual yang sering digunakan adalah ritual sekuler, semi-religius, dan ritual agama. Ritual sekuler, profan dianggap berfungsi sosial politik seperti parade, karnaval, pelantikan pejabat, peringatan hari besar dan lainnya. Jenis ritual ini bertujuan secara implisit untuk mempertebal sentimen masyarakat dan kesadaran politik. 

Ritual semi-religius adalah ritual lingkaran hidup manusia seperti pawiwahan (perkawinan), metatah (potong gigi), menek kelih (ritual beranjak dewasa dalam tradisi Hindu Bali). Ritual jenis ini mempunyai tujuan sekuler, tetapi juga secara jelas dan pada hakekatnya didasarkan pada sesuatu yang disakralkan (Tremmel, 1976 dalam Suhardi, 2009: 13). 

Sementara ritus agama adalah upaya yang sungguh-sungguh berupaya untuk mencari jalan keselamatan jiwa melalui pola peribadatan dengan tujuan utama menjalin komunikasi antara manusia dengan alam transenden. Ketiga kategori ritus itu pada hakekatnya menempatkan manusia dan lingkungannya sebagai agency terpenting yang menggerakkan ritus tersebut. 

Dalam ritual yang sering dilakukan, transformasi dan beragam kepentingan yang menjalankan ritus menjadi poin yang sangat penting. Oleh karena itu ritus dengan berbagai mitos, aturan serta pelaksanaannya bisa berubah.

Relasi ritual dengan lingkungan sosial politik seharusnya menjadi refleksi yang mendalam. Berbagai ritual-ritual yang berlangsung dengan tujuan untuk mencari keselamatan (salvation), harmonisasi serta keseimbangan alam justru melahirkan situasi yang ironis dan ambigu. 

Ritual berlangsung gemuruh sementara rentetan bencana seolah tak henti mendera kehidupan manusia. Dharma Palguna (2006) mengungkapkan bagaimana “ritual-ritual agama” di Bali dulunya dijaga dengan mantra-mantra kini justru dijaga oleh sepasukan pecalang (barisan pengamanan adat di Bali) dan pemeriksaan metal detector (saat ritual Pamarisudha Karipubhaya Bom Bali 2002 dan 2005). 

Orang-orang Bali kini gencar dan bersemangat melakukan berbagai macam ritual dengan megah dan spektakuler. Tapi justru saat itu pula rangkaian bencana sambung menyambung tanpa henti mendera Bali. Bukan hanya bencana yang datang dari luar, namun juga bencana dari dalam masyarakat Bali sendiri. 

Pentas dan Politik

Ritual salah satunya mempunyai sifat yang rahasia (rahasya), jauh dari keramaian, bunyi-bunyian dan bau-bau yang tidak relevan. Jumlah orang yang ada dalam lokasi ritual juga terbatas dan lingkungan ritual juga telah dijaga secara mistis (sengker). 

Tujuannya agar pikiran buruk tidak masuk dalam lingkaran mistis (sesengkeran) sehingga tujuan ritual menjadi berhasil (tepet). Namun, orang-orang Bali kini tidak menghiraukan kerahasiaan, sekaralan ritual tersebut. Ritual dibuat menjadi even keramaian. Semakin ramai semakin membanggakan (Dharma Palguna, 2006: 150-151). 

Maka ada pertunjukan, ada jamuan, ada undangan untuk pejabat pemerintah yang menyerahkan sumbangan dan membuka ritual. Para pejabat ini biasanya akan didaulat untuk peletakan batu pertama jika ada ritual pembangunan pura, mendem pedagingan (meletakkan sesaji di bawah tanah) saat ritual peresmian pura berlangsung yang semestinya dilakukan oleh pendeta atau pemangku. 

Ritual tambah megah dan tinggi statusnya jika ada pemberitaan di media massa dan elektronik, dimuat dalam durasi hampir 1 jam oleh sebuah stasiun televisi lokal dalam sebuah program acara Nangun Yadnya.

Konteks “teologi ritual” sering melupakan relasi ritual dengan kehidupan sosial politik dalam konteks ritual tersebut. Ritual kematian di Bali misalnya bukan hanya persoalan lepasnya “badan kasar” dari “badan halus” serta bersatunya jasad manusia ke alam pertiwi, paramaatman (menyatunya atma dengan paramataman, Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa), namun seperti dipertanyakan oleh Santikarma (2004) berakhirnya hidup di Bali juga persoalan sosial yang berhubungan dengan soal status. 

Upacara kematian memunculkan argumentasi seperti, sejauh mana besar skala upacara? Siapa yang memimpin upacara, pendeta brahmana atau bukan? Berapa tinggi usungan jenazah? Bagi mereka yang anggota keluarganya raib akibat pembantain massal 1965 kekisruhan muncul dalam menentukan status kematian: apa kematian mereka dianggap sebagai salahpati (bunuh diri) atau ulahpati (kecelakaan)? Keputusan ini nanti berpengaruh terhadap rangkaian sarana sesajen atau banten yang akan dipakai.

Berbagai jenis ritual di Bali sering dikaitkan dengan ide tentang “keharmonisan alam” atau dalam bahasa lainnya untuk menjaga keseimbangan kosmis. Dalam terminologi lainnya yang serupa, rwa bhineda (baik dan buruk) dalam alam pikiran orang Bali adalah menyatu dan diperlukan mediasi-mediasi ritual untuk menyeimbangkan dua kekuatan tersebut. 

Namun praktik keagamaan di Bali, meminjam istilah Hildred Geertz (dalam Santikarma, 2004) menyangkut persoalan negosiasi dan komunikasi dengan kekuatan dunia atas dan dunia bawah yang abstrak, penuh ambiguitas dan intrik kekuasaan. 

Dalam praktik-praktik ritual dan keagamaan yang penuh dengan ambiguitas dan intrik kekuasaan itulah relasi-relasi ritual dimainkan oleh agency-agengy (agen-agen) orang Bali dan diakomodasi penuh oleh negara dan kekuasaan untuk berbagai macam kepentingan.     

 

I Ngurah Suryawan, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa.

Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC). 

Editor: Robby

Reporter: bbn/klk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritaklungkung.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Klungkung.
Ikuti kami