search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kontribusi Industri Pariwisata terhadap Perekonomian Bali?
Kamis, 13 Mei 2021, 15:10 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITAKLUNGKUNG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAKLUNGKUNG.COM, NUSA PENIDA.

Seringkali kita mendengar pendapat yang mengatakan bahwa Bali memperoleh kue sangat kecil dari devisa yang berasal dari industri pariwisata. 

Menurut pendapat mereka itu, dalam UU No 33/2004 hanya daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA) saja yang memperoleh Dana Bagi Hasil (DBH), sedangkan pendapatan dari industri pariwisata tidak dipertimbangkan dalam perolehan DBH karena bukan bagian dari SDA. 

Pertanyaannya adalah "Benarkah Bali sangat sedikit memperoleh manfaat devisa dari industri Pariwisata? ". Cukup keliru pendapat tersebut, sebab pendapatan devisa dari industri pariwisata berbeda dengan devisa dari usaha yang perolehannya berkaitan dengan SDA (seperti sektor Kehutanan, Pertambangan, dan Perikanan).

Devisa pariwisata diterima langsung oleh mereka yang bergerak di industri pariwisata (seperti pengusaha,  karyawan). Devisa (mata uang asing) yang diterima itu saat dibutuhkan untuk bertransaksi (seperti untuk membayar gaji, membeli bahan baku, menyewa tempat dan berbagai kepentingan lainnya), tentu  devisanya akan ditukar ke dalam denomenasi (satuan) rupiah di money changer atau bank umum, yang kemudian money changer dan bank umum itu menukarkannya ke Bank Indonesia (BI). 

Devisa yang berakhir di Bank Indpnesia itulah yang menjadi cadangan devisa bagi negara. Makanya, industri pariwisata disebut sebagai penyumbang devisa. 

Perlu diketahui juga, penyumbang devisa bukan hanya industri pariwisata saja, tapi banyak pihak lain, seperti para eksportir, PMI (pekerja migran Indonesia sprt pekerja kapal pesiar, TKW dan TKI), diaspora yang mengirim uang ke dalam negeri dan pihak-pihak lainnya. Semakin banyak yang memperoleh devisa lalu mengirim ke dalam negeri dan menukarkannya, maka cadangan devisa di BI semakin membesar. 

Jika semakin membesar cadangan devisa itu, maka semakin kokoh pondasi ekonomi dikarenakan nilai tukar rupiah akan semakin menguat, sebab akan 'kebal' dengan gempuran permintaan penukaran. Berapapun permintaan (demand) uang asing (devisa) diminta oleh pasar, akan mampu dipenuhi oleh BI. Ini berakibat nilai tukar rupiah akan stabil atau bahkan semakit menguat. 

Kembali tentang Devisa pariwisata Bali yang diperkirakan per-tahun sekitar 130 T - 140 T, tentu tidak serta merta langsung masuk menjadi penerimaan (kas) negara, melainkan hanya berkontribusi ke dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). 

Devisa pariwisata yang diterima oleh para pelaku pariwisata itulah yang menggeliatkan (menggerakkan) ekonomi Bali setelah menjadi rupiah. Uang itu berputar dan memberikan multiplier effect (efek pengganda) bagi perekonomian Bali.  

Pergerakan ekonomi itulah yang berkontribusi ke pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam bentuk pajak. Pemerintah Pusat memperoleh penerimaan dari  Pajak Penghasilan (PPH), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, dan Pajak Bumi & Bangunan (PBB) tertentu. 

Pemerintah Provinsi memperoleh penerimaan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), sedangkan untuk Kabupaten/Kota memperoleh penerimaan dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir dan beberapa pajak daerah lainnya.

Baca juga:
Rumah Keong

Jadi dalam bentuk demikianlah Devisa yang berasal dari industri pariwisata berkontribusi terhadap penerimaan ke kas negara maupun kas daerah. 

Berbeda dengan kontribusi pengusaha/perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam (SDA), kontribusinya langsung masuk ke kas negara dan kas daerah. 

Sekedar contoh sesuai UU No. 32/2004: untuk skema Dana Bagi Hasil (DBH)  SDA yang dapat diperbaharui, seperti Perusahaan Kehutanan misalnya, Pemerintah memungut:

1. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dengan pembagian untuk Pemerintah Pusat memperoleh sebesar 20% dan Pemerintah Daerah sebesar 80% (kemudian dibagi lagi  dengan proporsi untuk Pemerintah Provinsi memperoleh sebesar 16% dan Pemerintah Kab/kota sebesar 64%).

2. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), yang pembagiannya untuk Pemerintah Pusat sebesar  20% dan Pemerintah Daerah sebesar 80%, yang kemudian dibagi lagi menjadi untuk Pemerintah Provinsi sebesar16%, Pemerintah Kabupatan/Kota penghasil sebesar 32%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota satu Provinsi sebesar 32%.

3. Dana Reboisasi dengan komposisi untuk Pemerintah Pusat memperoleh sebesar 60% dan untuk Pemerintah Daerah sebesar 40%. 

Kalau SDA yang tidak dapat diperbaharui, proporsi pembagian DBH lebih rinci lagi. 

Ambil contoh misalnya, untuk Perusahaan Pertambangan Umum, maka akan dikenakan: 

1. Iuran tetap (land rent) yang dibagi untuk Pemerintah Pusat sebesar 20% dan untuk Pemerintah Daerah sebesar  80%, yang kemudian jatah daerah dibagi lagi untuk Pemerintah Provinsi sebesar 16% dan untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 64%. 

2. Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalty). pembagiannya untuk Pemerintah Pusat sebesar 20% dan untuk Pemerintah Daerah sebesar 80%, dimana untuk daerah itu dibagi lagi menjadi untuk Pemerintah Provinsi sebesar 16%, untuk Pemerintah Kabuaten/Kota Penghasil sebesar 32%, dan untuk Pemerintah Kabupaten/kota satu Provisni sebesar 32%. 

Demikian juga untuk Perusahan Pertambangan Minyak Bumi, Perusahaan Pertambangan Gas Bumi, Perusahaan Pertambangan Panas Bumi, dan Perusahaan Perikanan, semuanya memiliki kewajiban untuk mengkontribusikan pendapatannya ke sisi Penenerimaan Negara sesuai UU 33/2004.

Berdasarkan paparan itu, cukup jelas bahwa Bali memperoleh benefit (manfaat) dari perolehan devisa industri pariwisata, meski secara tidak langsung (indirect effect) karena melalui mekanisme multiplier effect dan berujung pada pajak. Buktinya sebelum ada pandemi,  Pertumbuhan Ekonomi Bali selalu di atas rata-rata petumbuhan ekonomi nasional. 

Demikian juga presentase jumlah orang miskin dan pengangguran, selalu Bali lebih baik dari rata-rata nasional. Itu semua akibat industri pariwisata berkontribusi besar terhadap perekonomian Bali.

 Namun semua itu terbalik akibat wabah (pandemi) ganas yang melanda seluruh belahan dunia ini. Industri pariwisata mengalami dampak negatif yang paling parah, yang rembetannya ke hampir seluruh sektor menjadi ikut terpuruk.

Oleh: Prof Dr IB Raka Suardana

Dekan FEB Undiknas Denpasar

Regional Chief Economist (RCE) BNI Wil. 8 Bali-Nusra

Editor: Robby

Reporter: bbn/klk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritaklungkung.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Klungkung.
Ikuti kami