search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kemana Para
Minggu, 15 November 2020, 14:15 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITAKLUNGKUNG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAKLUNGKUNG.COM, KLUNGKUNG.

Bagi saya, pengalaman yang akan saya ceritakan ini meskipun sering dianggap sebagai “fenomena yang wajar”, tapi sangat berkesan. 

Cerita ini terjadi pada medio Agustus 2002 di sebuah kabupaten di selatan Bali. Saat itu dalam sebuah kesempatan bakti sosial mahasiswa. Saat 4 truk berisi ratusan mahasiswa baru akan memasuki lapangan desa pada siang hari yang terik. Puluhan pemuda desa sudah menunggu, pasang aksi duduk di atas sepeda motor. 

Mereka bergerombol sambil sesekali tertawa lepas. Duduk mereka melingkar, dan dalam lingkaran terdapat kurang lebih 5 botol bir dengan serakan kulit kacang dimana-mana. Benak saya berkata “Itu pasti arak atau tuak (minuman keras Bali).”

Beberapa diantara mereka kemudian menghidupkan sepeda motor dan memacunya dengan kencang melintasi jalan berpapasan dengan truk paling belakang yang masuk lapangan desa. Aksi mereka seolah menunjukkan keberanian dan kejagoannya dalam menaiki sepeda motor. 
Aksinya disambut dengan siulan, tepuk tangan dan ledakan tawa yang kembali menyambut kedatangan saya dan teman-teman peserta baksi sosial.

Bisik-bisik teman setelah turun dari truk menyebutkan mereka pasti para brandes (brandalan desa), sekelompok pemuda desa yang sering bikin ulah dengan perkelahian, mabuk-mabukan dan seringkali menjadi pemicu perkelahian antar pemuda desa lainnya. Para brandes ini sebagian besar adalah anggota sekaa teruna (organisasi pemuda) di desa masing-masing.

Kisah tidak terhenti, tapi baru awal dari pengalaman saya melihat aksi para brandes ini. Ulah mereka pada hari-hari selanjutnya selama bakti sosial sangat meresahkan kalau tidak disebut menjengkelkan. 

Beberapa mahasiswa perempuan digoda, dan mahasiswa laki-laki dipaksa untuk menenggak arak atau tuak. Karena dipaksa beberapa mahasiswa laki-laki tidak berani menolak, sedangkan mahasiswa perempuan memilih untuk kembali ke posko di lapangan desa dan mengadu pada panitia bakti sosial.  

Pada hari penutupan, yang diakhiri dengan malam inagurasi, aksi para brandes ini mencapai puncaknya. Mereka—para brandes ini—meminta jatah untuk melakukan aksi penggojlokan pada mahasiswa baru. Padahal panitia bakti sosial hanya akan memberlakukan malam inagurasi yang disertai dengan pembekalan jati diri mahasiswa dan pikiran kritis, bukan teror penggojlokan dengan melibatkan hukuman fisik. 

Terang saja permintaan para brandes ini ditolak oleh panitia baksi sosial. Di sinilah sempat terjadi ketegangan, bahkan ancaman kekerasan. Para brandes yang sudah dalam pengaruh minuman keras arak dan tuak berteriak-teriak malam itu, membunyikan motornya keras-keras menunjukkan protesnya “tidak dilibatkan” 

Jagoan Desa                  

Kisah tentang para anak muda Bali yang sering disebut brandes ini juga saya dapatkan dari seorang kawan, sebutlah namanya Made. Made menjadi saksi bagaimana para gerombolan anak muda ini dikoordinir oleh orang kuat lokal yang berpengaruh di desa. 

Para brandes ini—yang biasanya adalah pemuda penganguran, anak sekolahan atau teruna desa (anak muda desa)—akan “diberdayakan” untuk tenaga kampanye partai politiknya orang lokal tersebut, pemasang bendera partai politik, juga menjadi salah satu barisan paling dominan dalam melakukan aksi kekerasan. 

Made menyaksikan sendiri para brandes ini paling beringas melakukan perusakan terhadap rumah seorang warga adat yang kasepekang (dimusuhi warga desa), yang menjadi sasaran amarah warga. Made melihat para teruna desa yang masih mengenyam pendidikan ikut melempar-lempar batu ke rumah tetangga mereka sendiri satu krama (warga) desa. 

Bahkan, teriakan paling keras, “Benyahin...!!! Benyahin...!!!” Made melihat sendiri ada anak muda beranjak dewasa yang berteriak kencang. Made memperkirakan teruna tersebut baru menginjak bangku kuliah. 

Salah satu gaya hidup generasi muda kini adalah “sok jagoan”. Gaya hidup jagoan pada budaya pemuda sangat terpengaruh dari bayangan mereka tentang gagah dan perkasanya menjadi jagoan lokal yang disegani. Dengan bergaya menjadi jagoan, atau bergabung dalam sebuah organisasi massa, memberikan legitimasi bahwa label jagoan telah disematkan dalam dirinya.

Brandes dan jagoan memiliki perjalanan sejarah panjang, terutama hubungannya dengan kekerasan dan kekuasaan. Jago adalah orang kuat lokal setempat baik secara fisik maupun spiritual dikenal kebal. Seorang jago dapat menghimpun pengikut, dan kekuatannya bergantung pada jumlah anak buah. 

Pada masa prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat para penguasa. Gejala jago berhubungan erat dengan tidak adanya negara sentral (pusat) yang kuat dan institusionalisasi kekuasaan. 

Pada zaman prakolonial, negara masa lampau terlalu mendasarkan diri pada kharisma raja dan penguasa setempat. Penguasa tradisional biasanya akan memilih dan memelihara orang terkuat dalam masyarakat sebagai jago (Onghokham, 2002: 101-102). 

Penyebar ketakutan itu adalah para jagoan, orang kuat lokal, para preman, dan kelompok-kelompok kriminal yang “dipakai” jasanya oleh negara dan kekuasaan untuk menyebarkan teror ketakutan ini. Para “jagoan lokal” ini akan beraksi sesuai dengan perintah dan target dari “si dalang”. 

Situasi akhirnya berbalik ketika para jagoan lokal ini juga menjadi korban berikutnya dari target “si dalang” untuk membersihkan kelompok-kelompok kriminal ini. Sejarah mencatat bahwa peranan jagoan dan kelompok kriminal ini selalu memberi warna yang penting. James T. Siegel (2000) mengungkapkan, seorang kriminal, selalu berada di tepian masyarakat Indonesia namun tak pernah berada di luarnya. 

Sama sekali bukan orang asing, mudah dijumpai dalam wacana politik Indonesia. Perkembangan terakhir menunjukkan sosoknya yang cocok dengan konteks pemikiran tentang “rakyat”. Kata rakyat dalam sebagian besar masyarakat Indonesia menunjuk pada pengikut seorang pemimpin. Mereka, pada mulanya, adalah para hamba sahaya yang dihidupi oleh para pemegang otoritas politik lokal. 

Geneologi kelompok jagoan ini dalam catatan Nordholt (2002) sudah ada sejak zaman kolonial, di mana terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan masyarakat desa seperti pencurian sapi, pemerasan, penyelundupan candu, kekerasan, dan terutama intimidasi sebagai fenomena sehari-hari. 

Pelaku-pelaku yang paling penting dalam hal ini adalah para jagoan. Istilah jagoan tidak hanya merujuk suatu kebudayaan yang menekankan maskulinitas, kejantanan, keahlian dalam berkelahi, dan kekuasaaan yang diperoleh secara ‘magis’, melainkan juga suatu kategori baru ‘orang kuat’ lokal yang beroperasi di sisi kelam pemerintahan kolonial.

Pekerjaan mencuri milik lembaga-lembaga lokal yang menyediakan pekerjaan untuk banyak orang, dan untuk beberapa orang merupakan kesempatan untuk menanam modal, dan menawarkan keuntungan-keuntungan bagi para pelindung kelompok jagoan ini. 

Tak ada pemimpin desa yang menganggap desanya aman dan beres, jika ia tidak memelihara sekurang-sekurangnya seorang pencuri/maling atau biasanya beberapa orang yang bekerja di bawah komando maling tua dan bijaksana, yang disebut ‘jagoan’. Kini, kemana para brandes-brandes tersebut? 

I Ngurah Suryawan, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISI Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC). 

Editor: Robby

Reporter: bbn/klk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritaklungkung.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Klungkung.
Ikuti kami