search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
BALI = Bakal Amblas Lantaran Investor?
Minggu, 18 Oktober 2020, 12:50 WITA Follow
image

beritaklungkung.com

IKUTI BERITAKLUNGKUNG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAKLUNGKUNG.COM, KLUNGKUNG.

”Kami selama ini tidak main-main mengembangkan pariwisata di daerah kami. Dasarnya tetap pariwisata budaya dan agama. Jika itu hilang, apa yang akan kami jual,” kata seorang mantan bupati pada suatu kesempatan ketika ditanya permasalahan pengembangan pariwisata di wilayahnya (Kompas, 1 April 2009). 

Konteks yang diungkapkannya adalah respon daerahnya terhadap kajian RTRW (Rancangan Tata Ruang dan Wilayah) yang berusaha untuk memetakan, salah satunya adalah daerah mana saja yang bisa dimasuki dan diubah melalui investasi pariwisata. 

Pengembangan “daerah-daerah baru” pariwisata melalui investasi di kabupaten-kabupaten sebisanya mengacu pada “pariwisata kerakyatan.” Dasarnya tentu saja pariwisata berbasis budaya dan agama di satu sisi, dan mengundang investasi untuk menggerakkan pariwisata dan kesejahteraan rakyat di sisi lain. Apakah betul seperti itu?

Sembari wacana “pariwisata kerakyatan” tertelan bumi, eksploitasi alam dalam investasi pariwisata terus saja berlangsung tanpa henti. Seolah-olah Bali sebagai pulau kecil “aman-aman saja” menghadapi gemuruh industrialisasi, investasi, persoalan kependudukan, dan kekayaan alam yang terus menghimpit dari segala penjuru. 

Selama industri pariwisata menjamah Bali secara besar-besaran di awal tahun 1970-an, suara-suara dan kritik akan kehancuran alam Bali dan ludesnya tanah Bali tercaplok investor dianggap igauan di siang bolong dan karakter mental yang “menghambat pembangunan”. 

Jargon Bali menjadi Bakal Amblas Lantaran Investor yang diteriakkan aktivis dan pengkritik pembangunan Bali hanya sebatas membadan pada kaos-kaos yang digunakan aktivis dan pajangan poster-poster di kantor LSM (Bali Post, 18 April 2009). Yang lebih menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana siasat rakyat Bali hingga kini menghadapi ruangnya, natah-nya dalam terjangan investasi dan industrialiasi pariwisata. 

Dalam praktik hidup keseharian rakyat Bali, kita sering luput menangkap pergolakan (politik) kebudayaan mereka, yang sering kita sederhanakan dalam (sekali lagi) statistik dan strategi-strategi besar “puncak-puncak” politik kebudayaan. Politik ruang manusia Bali adalah siasat mereka menghadapi jerat-jerat turisme dan industrialisasi pariwisata yang massif menyentuh ruang-ruang privat kehidupan mereka. 

Kini, budaya dan agama adalah sebuah modal, “barang”, “hak milik kebudayaan” yang dimiliki orang Bali untuk dijual dalam bungkus pariwisata. Dalam kemasan investasi, pembangunan infrastruktur dan industrialisasi, pariwisata ditampilkan “manis dan manusiawi” untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Beriringan dengan “pembinaan kebudayaan”, pariwisata masuk menyentuh kehidupan kebudayaan Bali. Bahkan hubungan kebudayaan dan pariwisata telah membadan dan menjadi penentu gerak langkah kebudayaan Bali. Usaha untuk mendekatkan secara serentak pariwisata dari kebudayaan dan kebudayaan dari pariwisata dilakukan dengan sangat massif. 

Di satu pihak, begitu pariwisata dicap sebagai “pariwisata budaya”, sekan-akan diserahkan ciri-ciri dari budaya tersebut, dan terusirlah ancaman pengerusakan yang terkandung dalamnya sehingga dapat diberikan cap pengesahan untuk masuk Bali. Namun tentu itu saja tidaklah cukup. Meskipun dinyatakan bahwa pariwisata harus bersifat “budaya” untuk diterima oleh orang Bali, harus juga kebudayaan Bali diupayakan dapat ditawarkan di pasaran sebagai produk pariwisata. Maka akibatnya adalah kebudayaan Bali harus berciri pariwisata (Picard, 2006).

Dasar dari doktrin Pariwisata Budaya tersebut jelaslah tidak bisa dilepaskan dari kuasa kolonial dalam pembentukan citra Bali, dan juga paradigma menjadikan budaya sebagai “modal dan hak milik” yang dijual dalam topeng pariwisata. Dengan kembali melihat konstruksi kolonial terhadap Bali yang “tradisi”, unik dan harmonis itu, kita akan dibawa oleh melihat bagaimana transformasi kekuasaan kolonial diterjemahkan dengan sangat apik oleh tangan-tangan rezim otoritarian Orde Baru. 

Tertancap kuatnya ideologi “Pariwisata Budaya” bukannya tanpa resistensi (Mudana, 2005). Seiring dengan perubahan secara nyata orientasi Bali dari pertanian ke pariwisata (Bagus, 1999), banyak terjadi perubahan secara struktural serta pola pikir manusia Bali. Pariwisata memegang peranan yang sangat penting kalau tidak dikatakan terpenting di dalam perekonomian Bali. 

Ini terbukti dari menurunnya sumbangan sektor pertanian pada tahun 1997 hanya 19,33 %, sedangkan sektor pariwisata, terutama dalam bidang-bidang tertentu seperti perdagangan, hotel dan restoran pada tahun yang sama adalah sebesar 30, 5%. Dengan demikian secara keseluruhan telah terjadi peralihan dari budaya agraris ke budaya non-agraris, khususnya yang menyangkut “industri budaya” karena pariwisata kini telah menjadi bagian dari kebudayaan Bali (Bagus, 1999: 615; Bagus, 1988: 48-67). 

Melihat sepintas potret-potret genealogi kuasa pariwisata yang menerjang Bali, ada persoalan penting pariwisata Bali hari ini. Persoalan yang sebenarnya telah membadan dalam keseharian dan keakraban manusia Bali dalam melihat wajahnya sendiri. Melihat jejaring kekuasaan tersebut, pariwisata menjadi seperti candu yang melelapkan tidur manusia Bali untuk menggadaikan semua potensi daerahnya demi pariwisata. Persoalan investasi pariwisata yang merongrong tanah-tanah Bali tak terhitung jumlahnya. 

Investor dengan kekuatan modalnya, menggunakan tangan-tangan penguasa lokal (baca: pemerintah daerah, tokoh adat, elite politik lokal) menyisir setiap jengkap tanah-tanah di Bali yang bisa dibeli untuk kepentingan investasi demi janji manis industri pariwasata untuk mensejahterakan rakyat. 

Lalu, siapa yang peduli tentang hal ini? Untuk soal pariwisata dengan investasi modal yang melalap tanah-tanah Bali, kita (baca: rakyat Bali) seperti melakukan “resistensi berbisik” atau “melawan dalam kepatuhan”. Kita seperti merelakan, meskipun dengan berat hati, lingkungan Bali bopeng rusak berat tertelan investor, atau tanah-tanah Bali dibeli oleh para investor. 

Setelah tanah terjual, kita seperti berharap akan mendapat kesejahteraan melalui pariwisata, meskipun tanah kita telah terjual. Namun, kita lupa, banyak dari kita tidak mempunyai cukup kemampuan untuk bersaing menjadi tenaga industri pariwisata yang berkualitas. Kita seolah bungkam atau tak peduli bagaimana sangat massifnya kongsi modal dan investasi melahap tanah-tanah Bali, dari mulai tebing-tebing terjal hingga daerah-daerah pesisir pantai. 

Kita baru akan terkejut dan sadar setelah rasa etno-nasionalisme kita sebagai orang Hindu Bali, atau sentimen Hindu ke-Balian kita diancam oleh berdirinya resort-resort dan infrastruktur pariwisata yang kita anggap mengancam “kesucian” tempat ibadah kita. Padahal, lebih dari itu, jaring industri pariwisata telah menggerogoti tanah Bali. Tapi, kita bungkam. 

Lalu, apakah kita, sebagai rakyat Bali hanya akan berteriak protes jika investasi pariwisata mengancam “kawasan suci”? Apakah hanya dengan isu agama atau kesucian pura kita baru protes berteriak lantang melakukan perlawanan terhadap terjangan modal pariwisata ini? Padahal, sedari awal kita semestinya sadar, tanah nak lingsir kita telah habis terjual demi agama baru bernama pariwisata.

Apakah kita sadar itu? Atau kita menutup mata, tutup mulut, bungkam, atau bahkan menjadi kaki tangan investasi yang menjual-jual tanah Bali itu?

Editor: Robby

Reporter: bbn/klk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritaklungkung.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Klungkung.
Ikuti kami