search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kelas Menengah dan Mabuk Identitas
Minggu, 1 November 2020, 14:05 WITA Follow
image

beritaklungkung.com

IKUTI BERITAKLUNGKUNG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAKLUNGKUNG.COM, KLUNGKUNG.

Jika ada akademisi yang menyebutkan dengan sarkas bahwa negara ini sedang mabuk agama, maka tidaklah salah jika situasi Bali kini juga “mabuk identitas”. 

Sejarah panjang pergolakan pulau kecil ini mencerminkan kontestasi (perebutan) otoritas pengetahuan dan kekuasaan dalam merumuskan identitas Bali. Pengetahuan adalah (kuasa) untuk mengkontruksi manusia Bali dengan kebudayaannya. Praksis kekuasaan kemudian dijalankan oleh kerajaan, pemerintah kolonial, Orde Baru, dan negara kini untuk mencipta Bali. 

Rangkaian panjang penciptaan pengetahuan tentang kebudayaan Bali itulah yang menjadi problematik sekaligus menarik untuk dibongkar. Mabuk identitas ini ditunjukkan dengan dilahirkan berbagai kuasa pengetahuan yang secara administratif dan teknis menjadi peraturan-peraturan detail di tengah masyarakat. 

Salah satu contoh yang terkenal adalah gerakan kebudayaan Baliseering (Balinisasi) yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mentradisikan manusia Bali dengan kebudayaannya. Identitas Bali dengan demikian secara bersamaan sedang dibentuk.

Warisan otoritas pengetahuan dalam mengkonstruksi Bali (yang tradisi dan eksotik) dilanjutkan oleh rezim pembangunan otoritarian Orde Baru. Kuasa pengetahuan yang digunakannya adalah “pariwisata budaya”, “Sapta Pesona” dan “Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah)”. Kuatnya otoriritas Negara dalam mengendalikan kebudayaan Bali ketika itu menjadikan manusia Bali hanya sebagai pelaku-pelaku budaya dalam “museum hidup” kebudayaan yang dibentuk oleh Negara. 

Runtuhnya Soeharto membuka keran kebebasan berekspresi yang setelah sekian lama dibungkam. Pasca Reformasi 1998, Bali mewarnai hysteria kebudayaan dengan hadirnya silih berganti gerakan kebudayaan. Kita mungkin sayup-sayup pernah mendengar gerakan “Bali Merdeka”. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan Ajeg Bali dan perjuangan otononomi khusus (Otsus) Bali. 

Imaji Kelas Menengah 

Salah satu catatan yang penting lahirnya histeria gerakan pengokohan identitas Bali pasca reformasi adalah peran dari kelas menengah terdidik Bali yang difasilitasi oleh kapitalisme cetak (media massa) pada masanya. Peran sentral kelas menengah Bali ini menarik untuk dicermati lebih dalam. Imajinasi (romantisme) kebudayaan dan sentimen etnisitas dan agama mencuat pasca ledakan Bom Bali 12 Oktober 2002. 

Masih segar dalam ingatan bagaimana respon (reaktif) masyarakat Bali pasca Bom Bali 2002 dan 2005. Pada saat itulah penertiban penduduk pendatang yang dilakukan oleh barisan pecalangan (polisi adat Bali) menyasar wilayah-wilayah kaum urban. Pada saat ini, sentimen anti-pendatang tumbuh subur. Desa adat ikut terjun untuk melakukan pendataan “penduduk pendatang” yang dianggap sebagai sumber musibah.

Konteks awas dan waspada inilah yang menjadi stimulus untuk terciptanya gerakan pengokohan kebudayaan yang kemudian dikenal dengan Ajeg Bali. Dalam setiap pemberitaan dan gerakannya yang dilakukannya, kapitalisme cetak yang diwakili oleh media massa bersanding dengan kelas menengah terdidik yang mengimajinasikan kebudayaan Bali secara tradisional dan menjadi modal sosial untuk pariwisata. Keseluruhan gerakan kebudayaan tersebut menampilkan aktor-aktor kelas menengah Bali terdidik yang mengimajinasikan identitas dan kebudayaan Bali menurut pandangannya.

Kelas menengah terdidik ini lahir dari kubangan jaringan kuasa negara. Dalam konteks ini, Partha Chatterjee sudah jauh hari mengingatkan bahwa kelompok kelas menengah terdidik dalam pusaran masyarakat sipil, lahir dan besar dalam pelukan hangat negara. Mereka—kelas menengah terdidik ini—berbicara “atas nama massa (rakyat)” tapi sekaligus juga takut terhadap massa rakyat tersebut (Chatterjee, 1993; Nordholt dan Klinken, 2007: 39). 

Jadi, histeria gerakan mabuk budaya ini selalu akan mendapatkan perlawanan. Dalam konteks ini, kita akan sama-sama mengamati sekaligus juga memetakan aktor-aktor kelas menengah terdidik yang menjadi brokerage (broker) yang “menjual kebudayaan” Bali demi mimpinya tentang pelestarian kebudayaan.              

Geliat Jagoan    

Seorang karib berbisik saat kami bersama-sama menghadiri sebuah acara komunitas baca di Kota Denpasar empat bulan sebelum Pemilu serentak 17 April 2019. Ia menengarai ada gerakan untuk memobilisasi para tokoh Ormas (Organisasi Masyarakat) di Bali untuk masuk ke wilayah politik praktis (baca: menjadi anggota legislatif). Orang-orang kuat lokal dan pejabat berada di belakang mereka. Saya terkejut dan gagap meresponnya. 

Tentu bukan sembarangan karib saya ini berpendapat. Kiprahnya sebagai pengiat Lembaga Swadaya Masyarakat selepas menjadi aktivis mahasiswa tidak pernah saya ragukan. Amatannya terhadap kondisi sosial politik di Bali jarang meleset. Jauh sebelumnya, saya menemukan jejak digital apa yang disebutkan “Perang Ormas” terjadi di Bali. 

Tidak tanggung-tanggung, panggung kekerasan tersebut berlangsung di ruang publik dan membuat cemas banyak orang. Horor kriminalitas terjadi di depan mata masyarakat Bali. Tidak hanya di Denpasar dan Badung, tetapi menggejala ke daerah-daerah lainnya di Bali. 

Barisan Ormas ini menyeruak dan menjadi perbincangan pasca reformasi sekira tahun 2002 – 2004. Sejak saat itu Ormas menjadi kata kunci obrolan bale banjar yang berhubungan dengan wacana ketertiban dan keamanan di Bali. Berbagai kasus-kasus kekerasan dan kriminal yang terjadi berikutnya seolah menjadi cermin dari menggeliatnya para jagoan ini pasca reformasi. 

Patah tumbuh hilang berganti. Konflik internal dan persaingan menjadi patron jagoan membuat Ormas terfragmentasi. Kini, politik lokal Bali mementaskan para tokoh, pembina, penasehat, hingga (mungkin) patron Ormas memperebutkan kursi kekuasaan di legislatif. Mereka bergerak menuju lingkaran kekuasaan negara.    

Jika melihat Bali, akar jagoan salah satunya berkembang dari organisasi bela diri yang tumbuh subur di Bali dan melahirkan para pendekar yang disegani. Selain itu, kelahiran organisasi pemuda juga berbasiskan politik maupun glamour pariwisata mewarnai Bali pada konsolidasi awal rezim Orde Baru 1970-1980-an. Mereka hidup dalam konsolidasi pariwisata di Bali dan bayang-bayang tangan besi Orde Baru yang merangkul dan membasmi Ormas sesuai dengan kepentingannya.

Bagaimana para Ormas dan para penggebuk-nya ini bertahan hidup kini? Selain menjadi pelindung para elit lokal berpengaruh, salah satu incarannya adalah merebut kekuasaan politik lokal. Mungkin ini yang dimaksud oleh karib saya itu. Para elit Ormas bermetamorfosis menjadi wakil rakyat. Praktek-praktek illegalitas tidak hanya dilakukan oleh para birokrat/aparatur pemerintahan, tetapi juga para jagoan yang masuk politik praktis. 

Para elit ormas yang masuk di dalam tubuh negara akan mempunyai keleluasaan lebih untuk melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang kekuasaan, demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Mereka kemudian menjadi pelaku kriminal yang berlindung di balik legalitas negara dengan menjadi wakil rakyat (Aspinall dan Klinken, 2011). Dengan demikian, apparatus negara menjadi alat yang digunakan oleh para jago dan kelompok kriminal untuk melegitimasi aksinya. 

Siegel (2000) dengan tajam mengungkapkan bahwa para jagoan, kelompok-kelompok kriminal, selalu berada di tepian masyarakat Indonesia namun tak pernah berada di luarnya. Sama sekali bukan orang asing, mudah dijumpai dalam wacana politik Indonesia. Mereka, pada mulanya, adalah para hamba sahaya yang dihidupi oleh para pemegang otoritas politik lokal.

Politik Bali kontemporer melahirkan para jagoan yang hidup dari remah-remah industri (hiburan) pariwisata dan otoritas politik lokal. Penyedia jasa keamanan bukan saja di lingkungan pariwisata, tetapi juga pada masyarakat awam. Selain itu, merapat kepada orang kuat lokal atau penguasa daerah menjadi pilihan yang sangat realistis. Langkah berikutnya adalah mencari celah untuk merebut peluang-peluang baru dalam mempertahankan taring dan kekuasaan. 

Meski (akan) selalu menjadi hamba, para ormas dan jago-jagonya selalu berada di lingkaran kekuasaan yang patah tumbuh hilang berganti. Setiap otoritas kekuasaan lokal di Bali pastinya mempunyai para hamba, barisan penggebuk yang selalu siaga. 


I Ngurah Suryawan Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa.

Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).

Editor: Robby

Reporter: bbn/klk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritaklungkung.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Klungkung.
Ikuti kami