search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Nasib Warga Lansia di Negeri Dewata
Minggu, 3 Januari 2021, 22:00 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITAKLUNGKUNG.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAKLUNGKUNG.COM, KLUNGKUNG.

Suatu kesempatan saya mengunjungi sebuah tempat aneh. Belum ada papan yang menunjukkan apa sebenarnya tempat itu. Berderet kamar-kamar kecil layaknya sebuah hotel. Tempatnya pun jauh melewati jalan baypas.

Saya tidak menyangka tempat yang saya kunjungi adalah sebuah tempat penampungan, tepatnya sebuah panti jompo Tempat yang awalnya sangat asing bagi saya. Belum sekalipun saya mengunjungi sebuah panti tempat para manula menghabiskan hari-harinya.

Saya berkeliling, belum satupun saya menemui para manula. Halaman lapangan itu saya kelilingi dan saya melihat para perempuan-perempuan tua dengan mengenakan baju kebaya yang lusuh duduk berkumpul. 

Ternyata mereka sedang mejajahitan (membuat upakara ritual Hindu). Sedangkan yang pria tidak jauh dari tempat itu sedang asyik memotong bambu juga untuk dibuat perlengkapan upakara.

Saya bahagia bertemu dengan mereka. Saya hampiri dan disapanya saya dengan senyum, “Mriki Gus, wenten napi?” (Kesini nak, ada apa?) Sejuk dan hangat kata itu menyapa saya. Saya menghampiri mereka dan mereka menyambutnya dengan hangat. Mereka melewati hari-hari dengan aktivitas, tidak melayun, dengan kerjakeras tidak dengan bermals-malasan.

Lalu, mengapa mereka ada di panti jompo? Saya lama memikirkan kenapa mereka sampai tidak diterima di keluarganya? Apakah mereka ada kesalahan atau telah membuat kesalahan sehingga anak mereka menitipkan mereka di panti jompo? Saya lama merenungkan. 

Sama sekali tidak tampak dalam wajah mereka sifat jahat dan menjadi musuh di keluarga dan masyarakat. Saya tidak tahu awalnya mengapa mereka sampai di anti jompo?

Pertanyaan itu saya simpan. Saya berusaha untuk membuat perempuan-perempuan ini bersuara. Tapi mereka bungkam. Mereka hanya senang dan gembira bercerita tentang aktivitas mereka kini. Mereka sangat senang bisa membuat perlengkapan upakara ritual untuk dijual dan akhirnya mereka bisa mendapatkan uang saku seadanya.

Dalam kamar-kamar sederhana di panti itu, dalam satu kamar mereka tidur berdua. Sehari-hari mereka disibukkan dengan kegiatan olah raga, kegiatan agama dan membuat perlengkapan upakara ritual. Ada juga diberikan pelatihan untuk keahlian lainnya untuk para manula
ini. 

Saya tertegun melihat bagaimana semangat mereka menjalani hidup. Entah apa yang salah pada mereka, saya juga tidak mengerti. Saya hanya membayangkan kakek dan nenek saya di rumah jika harus ditempatkan di panti ini. Saya tidak akan tega.

Mereka, khususnya perempuan adalah perempuan tegar. Saya mendengar cerita beberapa diantara mereka disingkirkan dari keluarga dan masyarakat karena dianggap gila. Tapi beberapa diantaranya dimasukkan ke panti jompo karena dituduh bisa ngeleak (ilmu hitam).

Masyarakat terpaksa membuang mereka agar tidak menjadi penggangu dan merusak ketentraman masyarakat. Banyak juga diantaranya yang terpaksa dititipkan oleh keluarganya karena berselisih paham di keluarga. Beberapa cerita adalah ketidakcocokan dengan menantu sehingga sang anak mengalah dengan menitipkan ibunya ke panti jompo.

Mendengar cerita itu terpuruk dan tercoreng rasanya kebudayaan Bali yang adiluhung, ramah, sopan dan toleran. Tapi justru dengan warganya sendiri mereka (masyarakat) Bali menyingkirkan anggotanya. Kebudayaan Bali yang ditata saat ini, bisa hancur berantakan mendengar penuturan dan narasi yang diungkapkan para perempuan-perempuan tegar di panti jompo itu.

Saya kembali mengulangi pikiran saya tentang “hancurnya kebudayaan Bali”. Saya ingat bagaimana konstruksi tentang toleransi dan saling menolongnya manusia Bali. Tapi kini, saya curiga bahkan tidak lagi percaya akan toleransi dan saling menolongnya manusia Bali. Saya kini yakin, manusia Bali sungguh tega untuk menyingkirkan warganya sendiri dan dititipkan di panti jompo, disisihkan dari masyarakat.

Perempuan-perempuan tua di panti itulah bagi saya seorang Kartini sesungguhnya. Kartini yang bukan saja melakukan protes dari kondisi tertindas dan mengikat, tapi perempuan tua di panti jompo harus lepas dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Mereka berpisah dengan anak, cucu dan keluarga hanya karena alas an menggangu masyarakat atau ketidakcocokan dalam rumah tangga. Jadi kenapa harus ada panti jompo.

Saya bingung dengan kata emansipasi kini dalam perempuan. Bagi saya perempuan selayaknya bercermin bagaimana kerasnya hidup dan pengalaman dari para perempuan tua ini menghadapi “nilai kebudayaan Bali” yang harus membuatnya tersingkir. 

Emansipasi dalam pengertian sederhana saya adalah ikut serta, disejajarkan dengan laki-laki posisinya, tapi secara nyata perempuan kini mesti belajar dari generasi mereka sebelumnya yang harus gigih bertarung dengan hidup dan kehidupan yang harus menyingkirkan mereka.

Panti jompo itu menyisakan tanya bagi saya, apa yang harus dimaknai oleh perempuan kini terhadap situasi ini? Saya sudah bosan mendengar perempuan yang berteriak kencang menuntut hak tanpa belajar dari generasi mereka sebelumnya yang tersisishkan. 

Layaknya mereka menurunkan tujuan dan kini mulai belajar mencari inspirasi para survivor yang hidup dari pengalaman yang getir.
Sesungguhnya, wajah kartini saya temukan pada para perempuan-perempuan manula yang berdiri berderet yang menyapa saya dengan senyum ramah. Seolah mereka tidak menemukna lagi siapa anak dan cucu yang harus diajak untuk bicara, bertutur dan mendengarkan keluh kesah mereka. Saya kadang-kadang miris melihat para aktivis perempuan yang berteriak-teriak pada kekuasaan. Sekali-kali mereka juga harus diajak bicara dengan perempuan tua pemnghuni panti jompo ini. 

Mereka, para perempuan tua tegar ini tidak mengenal itu yang namanya feminisme, tapi mereka melakukan gerakan feminisme senyatanya melebihi para aktivis perempuan yang terus berkoar-koar tentang gerakan sensitif gender dan feminisme. 

Mereka mungkin tidak tahu apa itu undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), tapi mereka sudah lebih dulu mengalami bagaimana diperlakukan kasar oleh kaum laki-laki. Mereka tidak melawan, mereka bisu dan perlu tempat bertutur.

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika saya bisa bertutur lama dengan perempuan perkasa itu. Saya akan sangat senang mendengar cerita mereka, keluh kesah mereka dan kenapa mereka disingkirkan oleh keluarga dan masyarakat. 

Dan sudah pasti mereka akan menceritakannya dengan tangis. Tangis itu adalah kejujuran bagaimana mereka sangat rindu dengan keluarga mereka. Tapi mereka harus menghadapi getirnya hidup. Mereka disingkirkan. Saya tidak dapat membayangkan lagi kenapa manusia Bali seperti itu. 


I Ngurah Suryawan, Antropolog, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC). 

Editor: Robby

Reporter: bbn/klk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritaklungkung.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Klungkung.
Ikuti kami